Rumus Mendidik Anak Agar Sholeh dan Cerdas
Belakangan
ini ada permasalahan yang cukup intensif saya pikirkan: bagaimana
merumuskan parameter kesuksesan pada anak? Dengan semakin besarnya
anak-anak, rupanya diperlukan perumusan ulang jawaban atas pertanyaan
tadi. Untuk merefresh masalah pendidikan anak dan inisialisasi jawaban,
saya membaca ulang kumpulan pemikiran yang sempat saya tuliskan di bawah
ini. Saya ingin berbagi dengan sahabat sekalian dengan memposting
ulang, dengan tambahan pada bagian kecerdasan relijius. Semoga juga
bermanfaat bagi sahabat sekalian. Juga saya akan sangat berbahagia jika
ada feed-back dari sahabat semua ..Salam, Adi JM. @Chiba-Japan
Anugerah dan Amanah1)
Anak
merupakan anugerah termahal bagi orang tua. Banyak orang tua yang
mengharapkannya tapi tak kunjung diberi, sementara banyak juga orang tua
yang dengan mudah memperolehnya. Tapi, jangan pula merasa bangga dengan
hadirnya anak, jika kita tak mampu membekalinya dengan pendidikan yang
benar sesuai ajaran Islam. Karena, selain anugerah, anak juga merupakan
amanah “berat” yang dititipkan Allah kepada orang tuanya, terlebih lagi
di tengah-tengah merosotnya nilai-nilai etika, moral dan gencarnya
serangan permisifisme (budaya serba boleh) melalui media elektoronik,
tanggungjawab orang tua menjadi kian berat.
Anak memang anugerah, bahkan di dalam al-Qur’an dikatakan sebagai perhiasan hidup, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…”
(QS. al-Kahfi : 46). Bayangkan, jika hidup kita tanpa perhiasan,
semuanya akan terasa suram. Untuk itu kita patut bersyukur atas nikmat
Allah yang dititipkannya melalui anak-anak kita. Rasa syukur itu dapat
kita wujudkan dengan mengasuh dan mendidik mereka berlandaskan fitrah
dan kasih sayang.
Selain
sebagai anugerah, anak diberikan kepada orang tuanya sebagai amanah
”berat” untuk dipelihara, dididik dan dibina agar berkualitas dan
tangguh. Seperti diperintahkan dalam al-Qur’an, “Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. an-Nisaa’ : 9).
Setiap
orang tua harus menyadari amanah ini. Karena orang tualah yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Jika orang tua tak
memiliki kemampuan untuk mendidik, tanggungjawabnya memang dapat dibagi
kepada guru di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Namun
peran sentral harus tetap pada orang tua. Caranya, orang tua dapat
memilih guru atau sekolah untuk anak-anaknya dengan kriteria yang tepat.
Misalnya, guru atau sekolah yang dipilih harus mampu membina anak-anak
dengan berbagai disiplin ilmu atas dasar akidah, akhlak, dan ajaran
Islam.
Untuk Cerdas Relijius: Konsep 3T2)
"Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai ahli baitnya, dan membaca al-Qur’an” (HR.
ath-Thabrani). Tiga hal yang diperintahkan Nabi untuk diajarkan kepada
anak-anak kita terkait dengan puncak dan asas berbagai kecerdasan pada
anak kita. Bisa jadi sebagian orang menyebut kecerdasan ini dengan kecerdasan spiritual atau kecerdasan relijius.
Teladani Nabi saw,
Memberikan
teladan adalah metoda paling jitu dalam pendidikan anak. Karenanya
memperkenalkan pribadi Nabi Muhammad saw sejak dini akan menjadi fondasi
penting pembangunan akhlaq Islam pada anak-anak. Jadikanlah sosok Nabi
itu hidup dalam benak mereka dan sangat mereka cintai. Tak ada pribadi
yang lebih indah budi pekertinya daripada Nabi Muhammad. Dan engkau (Muhammad) sungguh berakhlaq mulia (QS. al Kalam:4).
Dengan
menghadirkan pribadi Nabi dalam keseharian anak-anak, mereka akan lebih
mudah melaksanakan akhlaq Islami, sebab ada sosok yang menjadi panutan
di hadapan mereka. Menghadirkan sosok Nabi misalnya dapat dilakukan
dengan mengisahkan betapa beliau pribadi yang penyayang kepada sesama
manusia, betapa beliau amat penyantun (hilm), betapa beliau pemberani dalam membela kebenaran, betapa beliau taat kepada Allah dengan tekun beribadah dll.
Teladani Keluarga Nabi,
Keluarga
Nabi adalah istri dan anak-anak beliau dan juga menantu beliau yang
shalih. Tidak diragukan merekalah orang-orang terdekat dengan Nabi.
Mereka pulalah orang-orang yang paling mencintai Nabi dan berusaha
melanjutkan perjuangan Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam.
Kisah
tentang mereka pun akan menjadi inspirasi sangat berharga bagi
anak-anak kita dalam meneladani Nabi. Mungkin kita mesti banyak menggali
bagaimana Nabi ikut serta mendidik Hasan dan Husein, cucu beliau, yang
bahkan kerap beliau anggap sebagai anak-anaknya sendiri. Tentu saja,
kita pun mesti menggali kisah bagaimana Nabi dan Sayyidatinaa Khadijah
mendidik putri-putri mereka di masa kecilnya, yang bisa kita fahami dari
petikan kisah Fatimah az Zahra ra, putri beliau. Pada masa kecilnya
Fatimah menyaksikan bagaimana ayahandanya gigih menda’wahkan Islam dan
tidak sedikit mendapatkan tentangan keras dari orang-orang.
Tentu
juga kita dapat banyak belajar dari bagaimana Nabi mengasuh dan
mendidik cucu beliau Hasan dan Husein -yang beliau anggap sebagai
anak-anak sendiri-, di mana pada saat yang sama beliau memimpin umat
Islam membangun masyarakat Islam di jazirah Arab.
Tilawah Quran,
Tilawah
ini sangat penting artinya dalam pendidikan. Tilawah menjadi salah satu
tugas Nabi dalam mendidik manusia (QS. Ali Imran:164). Tilawah artinya
membaca. Untuk kalangan yang tidak berbahasa Arab, tentu saja tilawah
yang benar mesti disertai usaha untuk mengetahui apa arti bacaan al
Quran.
Untuk
itu, dalam kaitan pendidikan anak, kita mesti mengusahakan agar anak
kita mengetahui paling tidak makna-makna penting dari ajaran Islam sejak
dini. Misalnya sejak kecil kita telah menanamkan aqidah yang benar;
Memperkenalkan siapakan Allah dan bahwa Dia Pencipta segala sesuatu yang
ada. Anak pun sejak dini diperkenalkan dengan ibadah shalat. Bahkan
Nabi memberikan patokan usia 7 tahun sebagai usia di mana orang tua
serius memperhatikan shalat anaknya dan ketika mencapai usia 10 tahun
sudah boleh memberikan hukuman apabila si anak lalai dalam menunaikan
sholatnya.
Allah
swt secara khusus mengangkat dialog Luqman al-hakim dengan anaknya pada
surat Luqman. Nasihat Luqman ini merupakan model dialog yang amat kaya
dengan pesan spiritual. Di dalamnya terdapat pesan orang tua kepada
anaknya untuk:
1. Senantiasa bersyukur, berterima kasih kepada Allah atas segala karuniaNya;
2. Tidak mempersekutukan Allah dengan siapapun: ikhlas dalam beribadah;
3. Menghayati kasih sayang orang tua dan berterima kasih kepada mereka;
4. Mengingat akan adanya hari di mana perbuatan sekecil apapun akan mendapat ganjaran dari Allah, Yang Mahalembut dan Maha Melihat;
5. Menegakkan
sholat dan menyuruh manusia berlaku benar dan mencegah mereka dari
berbuat jahat (= konsep menegakkan kebenaran dalam diri dan menyeru
orang lain);
6. Menghindari sikap sombong, perilaku angkuh dan berbangga-banggaan, karena hal ini tidak disukai Allah;
7. Bersikap
sederhana dalam berjalan dan lemah lembut dalam bertutur kata (dua
sikap sehari-hari yang menjadi cerminan keseluruhan karakter diri).
Jadi,
perintah mengajarkan "tilawah" ini dapat kita maknai sebagai pengajaran
nilai ajaran Islam sejak dini kepada anak-anak ini. Wa Allahu a'lam bish shawwab.
Tujuh Sisi Kecerdasan2) 3)
Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya (Ali
bin Abi Thalib ra). Adalah Dr. Howard Gardner (1983) yang mencetuskan 7
jenis kecerdasan dalam menjelaskan cakupan potensi manusia secara lebar
–idenya dikenal dengan pengembangan multiple intelligence-. Thesisnya memberikan pencerahan pada dunia pendidikan yang sebelumnya lebih banyak memberikan fokus perhatian pada sisi language and mathematical intelligence. Lebih dari itu ide Dr. Howard juga menyadarkan orang akan keterbatasan pengukuran kecerdasan hanya berbasis IQ.
Untuk para pendidik ide multiple intelligence
ini menjadi inspirasi dalam pengkayaan kurikulum pendidikan sekolah,
terutama dalam memperkaya metode penyampaikan materi pelajaran dengan
memanfaatkan ke-tujuh potensi kecerdasan manusia ini. Dr. Thomas
Armstrong adalah salah seorang yang cukup serius mengembangkan ide multiple intelligence ini.
i. Cerdas Berbahasa,
Adalah
kemampuan anak dalam mengutarakan maksud atau berkomunikasi tertentu
secara tapat dan runtut. Pada anak-anak, ini diawali dengan kemampuan
verbal. Semakin meningkat usia anak kemampuan komunikasi dalam bentuk
tulisan akan meningkat. Orang tua mesti telaten membimbing agar cerdas
dalam berbahasa.
Anak
dengan kecerdasan lebih dalam berbahasa akan nampak pada kesukaannya
dengan mengarang, membaca, berdiskusi hingga berpidato di depan umum.
ii. Cerdas Berlogika dan Berhitung,
Adalah
kemampuan anak dalam menalar sesuatu. Pada anak-anak ini misalnya
dimulai dengan mengurutkan atau mengklasifikasikan sesuatu. Kemudian
anak mulai mengenal banyak, sedikit dan mengenal jumlah. Termasuk dalam
masalah logika juga, si anak mulai mengenal baik dan buruk dengan lebih
tajam [hal ini menjadi salah satu kecerdasan relijius]. Hubungan
sebab-akibat juga menjadi bagian kecerdasan ini.
Anak
dengan kecerdasan lebih dalam berhitung akan nampak pada kesukaannya
dalam permainan strategi (misalnya catur), mainan puzzle logika
(misalnya Rubik’s Cube) serta memiliki ketepatan dan kecepatan dalam
menyelesaikan soal-soal matematika.
iii. Cerdas Berimajinasi Ruang (Spasial),
Adalah
kemampuan anak untuk menggambarkan ruang tiga dimensi dalam benaknya.
Keterampilan anak bermain lego (mainan 3 dimensi) atau kesukaan anak
dengan acara-acara bermanfaat di televisi menjadi awal pengembangan
keerdasan ini.
Kesenangan menggambar atau bentuk visualisasi pada media komputer menjadi salah satu ciri kecerdasan spasial.
iv. Cerdas Bernada dan Berirama (Musik),
Adalah
kemampuan anak untuk mengenal harmoni nada dan ketukan (ritme) lagu.
Anak dengan potensi musikal ini nampak sangat senang dengan lagu atau
musik dan dengan cepat dapat mengikuti lagu-lagu yang baru.
Jika
kecerdasan ini diterus dilatih daya olah vokal anak akan meningkat dan
bila diperkenalkan dengan alat musik, maka kemampuan motoriknya akan
cepat menyesuaikan diri dan mengekspresikan kecerdasan dalam produk
musik.
v. Cerdas Bergerak (Mengatur Tubuh),
Adalah
kemampuan anak untuk menggerakan tubuhnya dengan serasi. Anak-anak
dengan kecerdasan ini nampak pada kegemarannya dengan olah raga,
misalnya bela diri, berenang, bulutangkis atau sepak bola.
Permainan-permainan di taman kanak-kanak banyak diciptakan untuk membuat
badan terlatih dengan gerakan-gerakan yang sulit.
Untuk
mengembangkan potensi kecerdasan mengatur tubuh hendaknya anak kita
cukup diberi kesempatan berada di ruang luas dan diberi berbagai alat
olah raga yang mendukung. Kemampuan drama juga membutuhkan kecerdasan
kelenturan tubuh, sebab gerakan, ucapan dan emosi jiwa mesti diatur
secara harmonis.
vi. Cerdas Berinteraksi Sosial (Interpersonal),
Kecerdasan
ini nampak pada anak pada saat berinteraksi dengan kawan-kawannya. Bagi
orang beriman, kemampuan bersosial sangat erat dengan kecerdasan
relijius, sebab agama mengajarkan untuk berbuat baik dan saling menolong
dengan sesama manusia. Sifat mudah diterima dan bahkan disenangi
teman-teman menjadi salah satu parameter awal untuk mengukur kecerdasan
ini.
Sesungguhnya
anak akan melihat bagaimana orang tua mereka bersikap terhadap
masyarakatnya. Anak yang penyantun dan dermawan akan sangat mungkin
muncul dari keluarga yang penyantun dan dermawan. Anak yang ramah dan
mudah bergaul akan sangat mungkin lahir di keluarga yang juga ramah dan
mudah bergaul di masyarakatnya.
Untuk
membangun kecerdasan sosial anak sudah dibiasakan mengikuti
kegiatan-kegiatan sosial sejak kecil. Mereka juga mesti sering diajak
berdiskusi dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
vii. Cerdas Berkontemplasi dan Membaca Diri (Intrapersonal),
Adalah
kecerdasan seorang anak dalam memahami kondisi jiwanya. Kecerdasan
jenis ini mungkin termasuk yang sulit diukur pada anak. Akan tetapi
kecerdasan membaca diri membuat seorang anak lebih tenang dalam
menghadapi masalah. Rasa self confidence-nya terbangun dengan baik.
Perhatikanlah
ketika anak kita sedang menghadapi masalah. Seorang anak umumnya akan
meledak emosinya. Apakah dengan menangis atau dengan marah-marah.
Kondisi seperti sebetulnya kondisi di mana anak confuse dengan
gejolak emosinya. Sebagai orang tua kita harus membimbing anak pada
saat-saat seperti itu. Caranya dengan menenangkan gejolak emosinya,
memintanya mengutarakan permasalahan yang tengah dihadapi dan kemudian
membantunya memecahkan masalah itu lewat dialog.
Selesai. Wal hamdu liLlaahi.
***
1) Bagian ini secara utuh dikutip dari tulisan Ummu Nabila, "Anak, Antara Anugerah dan Amanah" pada situs http://surau.org [saya tidak bisa menemukan lagi link URL-nya, karena sudah berubah].
2) Salah satu bagian dari materi pada acara Keluarga Ceria, Forum Silaturahmi Muslimah (FAHIMA), Tokyo, 11 September 2004.
Catatan tambahan (28 Februari 2007)
Alhamdulillah
sekarang sudah banyak buku-buku kisah Nabi Muhammad saw untuk
anak-anak. Kita bisa mulai menceritakan kisah-kisah ini kepada
anak-anak. Di antara buku tentang pribadi beliau saw yang buat saya
sangat mencerahkan adalah Ar-Rasul yang ditulis Ustadz Said Hawwa.
Saya pernah membaca tulisan Ustadz Abul Hasan Ali An-Nadwi dari India, bahwa di anak benua India anak-anak muslim wajib belajar sirah Nabi Muhammad saw. Ustadz An-Nadwi sendiri menulis sebuah buku sirah Nabi berkualitas. Diantara keunikan tulisannya adalah mengungapkan sirah tanpa banyak "intervensi" pendapatnya. Ia meyakini sirah Nabi itu, tanpa diberi komentar apapun, mengandung kekuatan untuk membangun kepribadian terpuji pada pembacanya.
Ustadz An-Nadwi ini juga menulis buku "Apa Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam". Ustadz Sayid Qutb pada pengantar buku ini menuliskan bahwa buku ini adalah salah satu buku sejarah terbaik tentang Islam yang pernah beliau baca. Sebetulnya saya ingin menyampaikan juga, ajaran Rasulullah agar anak-anak sejak dini dididik agar "cinta Nabimu dan keluarganya" adalah isyarat agar diajarkan sejarah sejak dini kepada anak-anak. Pengajaran sejarah yang tepat inilah yang akan menghubungkan seorang anak dengan perjalanan peradaban mulia di masa lalu. Ini akan menjadi inspirasi berharga baginya dalam menghadapi hari ini dan membangun masa depan.
Ada lagi kisah yang saya ingat dari penuturan Ustadzah Zainab al-Ghazali. Ia menyebutkan betapa masa kanak-kanaknya sangat intensif dengan pengenalan akan kehidupan Nabi saw. Demikian seringnya kisah Nabi ini ia dengar, sehingga ketika ia kanak-kanak merasa akan bertemu dengan Nabi kalau sedang jalan-jalan ke pasar atau ke tempat-tempat lain ...
Adapun diantara buku sirah para sahabat Nabi terbaik adalah tulisan Ustadz Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, yang seperti Ustadz an-Nadwi juga berasal dari anak benua India. Bukunya berjudul Hayatus-Sahabah (Kehidupan Para Sahabat Nabi Muhammad saw).
Semoga kita para orang tua gemar mengkaji buku-buku sirah dan sejarah, sehingga membekali kita mendidik anak-anak kita.
Demikian tambahan dari saya. WaLlaahu a'lamu bish shawwab.
3) Thomas Amstrong, Multiple Intelligences. Pada situs ini ditambahkan pula kecerdasan ke-8, yaitu Cerdas Bersama Alam,
yaitu menemukan berbagai hukum alam (lebih tepatnya hukum Allah yang
diberlakukan pada alam) dengan observasi secara langsung di alam. bilqiskhalisa.multiply.com
Rumus Mendidik Anak Agar Sholeh dan Cerdas
Reviewed by SDN BENDO
on
07:00
Rating:
No comments