makalah SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA ZAMAN HINDU-BUDHA



membuat laporan tentang SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA ZAMAN HINDU-BUDHA


Perkembangan laporan rangkuman Kerajaan Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India,Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. 

budaya indonesia BHINA TUNGGAL IKA

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengahdan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu diJawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.


Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.




B.     MASUKNYA AGAMA HINDU DAN BUDHA KE INDONESIA
Persebaran agama dan budaya Hindu-Budha dari India ke Indonesia melalui jalur lalu lintas perdagangan dan pelayanan. Sejak awal abad 1 M Indonesia telah menjalin hubungan dagang dengan negara lain. Hal ini, dikarenakan letak geografis Indonesia yang sangat strategis sehingga memungkinkan hubungan dagang dengan negara lain. Pelayaran di Indonesia awalnya dilakukan hanya sebagai lalu lintas utama penghubung antarpulau tetapi kemudian hal tersebut mendorong adanya aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan tersebut akhirnya dilakukan bukan hanya di Indonesia saja. Hal ini disebabkan karena :
        Setelah ditemukan jalur melalui laut antara Romawi dan Cina maka perlayaran dan perdagangan Asia semakin ramai. Sehingga wilayah yang dilalui jalur perlayaran dan perdagangan tersebut ikut aktif dalam perdagangan. Indonesia sebagai wilayah yang strategis menjalin hubungan dengan Cina dan India. Wilayah Indonesia yang berada di sebelah Timur India menyebabkan para pelaut India lebih mudah mencapai Indonesia dan terbentuklah perdagangan antara India dan Indonesia.·
        Didukung adanya pola angin musim yang berubah arah setiap 6 bulan.·
        Didukung adanya perluasan kekuasaan kerajaan Cina yang membawa kekuasaannya ke Asia Tenggara mendorong timbul perdagangan maritim di Asia Barat ke Cina Selatan melalui Indonesia. Perdagangan di Asia Barat didukung oleh para pedagang India.·
        Barang perdagangan: emas, kayu cendana, rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan dari India sampai Indonesia.·
Melalui perdagangan tersebut berkembanglah kebudayaan Asing termasuk India serta Agama Hindu dan Budha yang dianut oleh sebagian besar pedagang India. Agama tersebutlah yang kemudian dianut oleh raja-raja di Indonesia yang selanjutnya mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.

Masuknya dan berkembangnya Agama Hindu di Indonesia
Terdapat beberapa teori mengenai siapakah yang membawa masuknya agama dan kebudayaan Hindu di Indonesia. Teori-teori tersebut antara lain:
1.     Teori Sudra (dikemukakan oleh Van Feber)
Inti dari teori ini adalah bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra.
Pendapat dari Van Feber adalah bahwa:
      Orang India berkasta Sudra (pekerja kasar) menginginkan kehidupan yang lebih baik daripada mereka tinggal menetap di India sebagai pekerja kasar bahkan tak jarang mereka dijadikan sebagai budak para majikan sehingga mereka pergi ke daerah lain bahkan ada yang sampai ke Indonesia.Ø
      Orang berkasta sudra yang berada pada kasta terendah di India tidak jarang dianggap sebagai orang buangan sehingga mereka meninggalkan daerahnya pergi ke daerah lain bahkan keluar dari India hingga ada yang sampai ke Indonesia agar mereka mendapat kedudukan yang lebih baik dan lebih dihargai.Ø
      Bantahan ahli terhadap teori ini adalah sebagai berikut.
         Golongan Sudra tidak menguasai seluk beluk ajaran agama Hindu sebab mereka tidak menguasai bahasa Sansekerta yang digunakan dalam Kitab Suci Weda (§terdapat aturan dan ajaran agama Hindu). Terlebih tidak sembarang orang dapat menyentuhnya, membaca dan mengetahui isinya.
         Tujuan utama golongan Sudra meninggalkan India adalah untuk mendapat penghidupan dan kedudukan yang lebih baik (memperbaiki keadaan/kondisi mereka). Sehingga jika mereka ke tempat lain pasti hanya untuk mewujudkan tujuan utama mereka bukan untuk menyebarkan agama Hindu.§
         Dalam sistem kasta posisi kaum sudra ada pada kasta terendah sehingga tidak mungkin mereka mau menyebarkan agama Hindu yang merupakan milik  kaum brahmana, kasta diatasnya. Jika mereka menyebarkan agama Hindu berarti akan lebih mengagungkan posisi kasta brahmana, kasta yang telah menempatkan mereka pada kasta terendah.§

2.      Teori Waisya (dikemukakan oleh NJ.Krom)
Inti dari teori ini yaitu bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu ke Indonesia dibawa oleh orang India berkasta Waisya yaitu golongan pedagang.
Mereka datang dan berperan sebagai penyebar agama Hindu ke Indonesia. Seperti bangsa Gujarat yang menjadi pedagang pada zaman Islam atau bangsa Barat pada zaman modern.
Menurut NJ.Krom ada 2 kemungkinan Agama Hindu disebarkan oleh pedagang:
      Para pedagang dari India melakukan perdagangan dan akhirnya sampai ke Indonesia memang hanya untuk berdagang. Melalui interaksi perdagangan itulah agama Hindu disebarkan pada rakyat Indonesia.Ø
      Para pedagang dari India yang singgah di Indonesia kemudian mendirikan pemukiman sembari menunggu angin musim yang baik untuk membawa mereka kembali ke India. Merekapun akan berinteraksi dengan penduduk sekitar dan menyebarkan agama pada penduduk lokal Indonesia. Selanjutnya jika ada yang tertarik dengan penduduk setempat dan memutuskan untuk menikah serta berketurunan maka melalui keturunan inilah agama Hindu disebarkan ke masyarakat sekitar. Ø
Faktor yang memperkuat teori dari NJ. Krom adalah bahwa:
      Teori ini mudah diterima oleh akal sebab dalam kehidupan, faktor ekonomi menjadi sangat penting dan perdagangan merupakan salah satu bentuk dalam kegiatan berekonomi. Sehingga melalui kegiatan perdagangan dirasa akan lebih mudah untuk berhubungan dengan orang dari berbagai daerah.Ø
      Adanya bukti yang menunjukkan bahwa terdapat perkampungan para pedagang India di Indonesia yang disebut Kampung Keling yang terletak di beberapa daerah di Indonesia seperti di Indonesia bagian Barat (Sumatera). Ø
Bantahan para ahli terhadap teori ini :
o       Motif mereka datang sekedar untuk berdagang bukan untuk menyebarkan agama Hindu sehingga hubungan yang terbentuk antara penduduk setempat bahkan pada raja dengan para saudagar (pedagang India) hanya seputar perdagangan dan tidak akan membawa perubahan besar terhadap penyebaran agama Hindu.
o       Mereka lebih banyak menetap di daerah pantai untuk memudahkan kegiatan perdagangannya. Mereka datang ke Indonesia untuk berdagang dan jika mereka singgah mungkin hanya sekedar mencari perbekalan untuk perjalanan mereka selanjutnya atau untuk menunggu angin yang baik yang akan membawa mereka melanjutkan perjalanan. Sementara itu kerajaan Hindu di Indonesia lebih banyak terletak di daerah pedalaman seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sehingga, penyebarluasan agama Hindu tidak mungkin dilakukan oleh kaum Waisya yang menjadi pedagang.
o       Meskipun ada perkampungan para pedagang India di Indonesia tetapi kedudukan mereka tidak berbeda dengan rakyat biasa di tempat itu, mereka yang tinggal menetap sebagaian besar hanyalah pedagang-pedagang keliling sehingga kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dengan penduduk setempat. Sehingga pengaruh budaya yang mereka bawa tidaklah membawa perubahan besar dalam tatanegara dan kehidupan keagamaan masyarakat setempat.
o       Kaum Waisya tidak mempunyai tugas untuk menyebarkan agama Hindu sebab yang bertugas menyebarkan agama Hindu adalah Brahmana. Lagi pula para pedagang tidak menguasai secara mendalam ajaran agama Hindu dikarenakan mereka tidak memahami bahasa Sansekerta sebagai pedoman untuk membaca kitab suci Weda.
o       Tulisan dalam prasasti dan bangunan keagamaan Hindu yang ditemukan di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang hanya digunakan oleh Kaum Brahmana dalam kitab-kitab Weda dan upacara keagamaan.
     
3.      Teori Ksatria (dikemukakan oleh FDK Bosch)
Inti dari teori ini adalah bahwa golongan bangsawan/ksatria dari India yang membawa masuk dan menyebarkan agama Hindu di Indonesia.
Menurut FDK Bosch ada 3 alasan mengapa Agama Hindu disebarkan oleh bangsawan:
      Raja dan bagsawan serta ksatria dari India yang kalah perang meninggalkan daerahnya menuju ke daerah lain termasuk Indonesia. Mereka berusaha menaklukkan daerah baru di Indonesia dan membentuk pemerintahan baru seperti ketika mereka di India. Dari situ mereka mulai menanamkan ajaran agama Hindu pada penduduk setempat.ü
      Kekacauan politik di India menyebabkan para ksatria melarikan diri sampai di Indonesia dan sesampainya di Indonesia mereka membentuk dan mendirikan koloni (tanah jajahan) dan mulai menyebarkan agama Hindu.ü
      Adapula raja dan para bangsawan India yang sengaja datang ke Indonesia untuk menyerang dan menaklukkan suku-suku di Indonesia. Setelah mereka berhasil maka akan mendirikan kerajaan dan mulai menyebarkan agama Hindu.ü
Teori Ksatria sering juga disebut dengan teori Kolonisasi . Hal ini disebabkan karena dilakukan penyerbuan dan penklukkan.
Bantahan terhadap  teori ini :
        Tidak mungkin pelarian ksatria dari India bisa mendapatkan kedudukan mulia sebagai raja di wilayah lain, sedangkan di Indonesia masa itu, seseorang dapat menjadi pemimpin suatu wilayah karena dia dirasa mempunyai kemampuan lebih daripada yang lainnya. Tidak mungkin rakyat menginginkan orang yang telah mengalahkan rakyat di wilayah itu untuk menjadi raja mereka karena mereka pasti harus hidup dalam tekanan dari orang yang tidak mereka kenal.·
        Tidak ada bukti yang kuat baik itu di Indonesia maupun di India bahwa penyerbuan yang dilakukan bertujuan untuk menyebarkan agama Hindu. Selain itu tidak ada bukti  pendudukan atas beberapa daerah di Indonesia oleh bangsa India yang bertujuan untuk menyebarkan agama. Padahal suatu penaklukkan pasti akan dicatat sebagai sebuah kemenangan. Memang pernah ada serbuan dari bangsa India yang terjadi 2 kali dalam waktu singkat oleh kerajaan Colamandala (raja Rajendra Coaldewa) atas kerajaan Sriwijaya yaitu pada tahun 1023 M dan 1030 M. Meskipun berhasil menawan raja Sriwijaya tetapi serangan tersebut berhasil dipatahkan/dikalahkan.·
        Jika terjadi kolonisasi /penaklukkan pasti akan disertai dengan pemindahan segala aspek/unsur budaya masyarakat India secara murni di Indonesia seperti sistem kasta, tatakota, pergaulan, bahasa, dsb. Tetapi kehidupan masyarakat di Indonesia tidak menunjukkan hal yang sama persis (tidak asli) dengan kehidupan masyarakat India dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi penguasaan secara mendasar pada segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia memiliki peran yang besar dalam proses pembentukan budaya India-Indonesia sehingga yang tampak adalah bentuk akulturasi budayanya.·
     
4.      Teori Brahmana (dikemukakan oleh J.C. Van Leur)
Inti dari teori ini adalah bahwa yang membawa masuk dan menyebarkan agama Hindu di Indonesia adalah kaum brahmana dari India. Teori ini memang paling mudah diterima.
Menurut J.C. Van Leur beberapa alasan mengapa Agama Hindu disebarkan oleh brahmana:
*      Agama Hindu adalah milik kaum Brahmana sehingga merekalah yang paling tahu dan paham mengenai ajaran agama Hindu. Urusan keagamaan merupakan monopoli kaum Brahmana bahkan kekuasaan terbesar dipegang oleh kaum Brahmana sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
*      Prasasti Indonesia yang pertama menggunakan berbahasa Sansekerta, sedangkan di India sendiri bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan Hindu. Bahasa Sansekerta adalah bahasa kelas tinggi sehingga tidak semua orang dapat membaca dan menulis bahasa Sansekerta. Di India hanya kasta Brahmana yang menguasai bahasa Sansekerta sehingga hanya kaum Brahmana-lah yang dapat dan boleh membaca kitab suci Weda.
*      Karena kepala suku yang ada di Indonesia kedudukannya ingin diakui dan kuat seperti raja-raja di India maka mereka dengan sengaja mendatangkan kaum Brahmana dari India untuk mengadakan upacara penobatan dan mensyahkan kedudukan kepala suku di Indonesia menjadi raja. Dan mulailah dikenal istilah kerajaan. Karena upacara penobatan tersebut secara Hindu maka secara otomatis rajanya juga dinyatakan beragama Hindu, jika raja beragama Hindu maka rakyatnyapun akan mengikuti rajanya beragama Hindu.
*      Ketika menobatkan raja kaum Brahmana pasti membawa kitab Weda ke Indonesia. Sebelum kembali ke India tak jarang para Brahmana tersebut akan meniggalkan Kitab Weda-nya sebagai hadiah bagi sang raja. Kitab tersebut selanjutnya akan dipelajari oleh sang raja dan digunakan untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia.
*      Para brahmana sengaja didatangkan ke Indonesia karena raja yang telah mengenal Brahmana secara khusus meminta Brahmana untuk mengajar di lingkungan istananya. Dari hal inilah maka agama dan budaya India dapat berkembang di Indonesia. Sejak itu mulailah secara khusus kepala suku-kepala suku yang lain yang tertarik terhadap budaya dan ajaran Hindu mengundang kaum Brahmana untuk datang dan mengajarkan agama dan budaya India kepada masyarakat Indonesia.
*      Teori ini didukung dengan adanya bukti bahwa terdapat koloni India di Malaysia dan pantai Timur Sumatera (populer dengan nama Kampung Keling) yang banyak ditempati oleh orang Keling dari India Selatan yang memerlukan kaum Brahmana untuk upacara agama (perkawinan dan kematian).

Bantahan terhadap teori ini :
     Mempelajari bahasa Sansekerta merupakan hal yang sangat sulit jadi tidak mungkin dilakukan oleh raja-raja di Indonesia yang telah mendapat kitab Weda untuk mengetahui isinya bahkan menyebarkan pada yang lain. Sehingga pasti memerlukan bimbingan kaum Brahmana dalam mempelajarinya.v
     Menurut ajaran Hindu kuno seorang Brahmana dilarang untuk menyeberangi lautan apalagi meninggalkan tanah airnya. Jika ia melakukan hal tersebut maka ia akan kehilangan hak akan kastanya. Sehingga mendatangkan para Brahmana ke Indonesia bukan merupakan hal yang wajar.v

Dari keempat teori tersebut teori yang paling tepat dan disepakati ahli mengenai masuknya agama Hindu dan Budha di Indonesia adalah teori Brahmana, yaitu bahwa brahmana/ pendeta dari Indialah yang membawa masuk agama dan budaya Hindu-Budha ke Indonesia. Istilah pendeta juga digunakan dalam agama Budha.
Adapun prosesnya sebagai berikut.
Masuknya Agama Hindu ke Indonesia :
Para pendeta dari India mempunyai misi/tugas khusus untuk menyebarkan agama Hindu, pada akhirnya sampai juga mereka ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Setiba di Indonesia mereka akan melakukan upacara pengembalian kasta agar mereka memiliki hak untuk menyebarkan ajaran agama. Selanjutnya mereka akan menemui penguasa lokal (kepala suku). Jika penguasa lokal tersebut tertarik dengan ajaran Hindu maka para pendeta bisa langsung mengajarkan dan menyebarkannya. Adapula penguasa lokal yang kemudian dinobatkan jadi raja serta diHindukan, sehingga jika rajanya beragama Hindu maka akan lebih mudah untuk menyebarkan agama Hindu di daerahnya.
Proses ini tidak dapat terjadi hanya satu kali langsung diterima tetapi membutuhkan proses yang lama.
Masuknya Agama Budha ke Indonesia :
Dalam ajaran agama budha juga terdapat misi khusus untuk menyebarkan agama Budha, misi tersebut dikenal dengan Dharmadhuta. Untuk menjalankan misinya tersebut maka pendeta Budha melalui jalur pelayaran dan perdagangan menuju ke Indonesia. Setibanya di Indonesia mereka akan menemui raja/ penguasa lokal setempat guna meminta izin untuk menyebarkan agama Budha. Selanjutnya mereka mulai mengajarkan dan menyebarkan agama Budha, jika pengusa lokal tertarik dan memutuskan untuk menganut ajaran agama Budha itu akan menjadi semakin mudah bagi perkembangan agama Budha di daerah tersebut. Jikapun raja tidak tertarik menganut agama Budha tapi memberi izin pada para pendeta tersebut untuk menyebarkan agama Budha maka mereka akan mendirikan perkumpulan umat/ jemaat Budha yang disebut Sangha. 
Dari keempat teori yang ada menurut para ahli tidak ada yang cocok menyatakan proses perkembangan agama dan budaya Hindu-Budha di Indonesia sehingga mereka mengemukakan suatu teori baru untuk menjelaskan proses perkembangan agama Hindu-Budha di Indonesia yaitu Teori Arus Balik.
Teori Arus Balik sepakat bahwa yang membawa masuk agama dan budaya Hindu-Budha di Indonesia adalah para pendeta India, tetapi yang menyebarkan agama Hindu-Budha ke rakyat Indonesia bukan para pendeta India melainkan orang Indonesia yang diutus oleh raja Indonesia untuk mempelajari agama dan budaya para pendeta India di negara asalnya yaitu India. Setelah utusan tersebut menguasai ajaran agama maka mereka akan kembali ke Indonesia dan menyampaikan pada raja. Raja yang telah mendapat laporan selanjutnya akan meminta utusan tersebut menyebarkan dan mengajarkan pengetahuan yang di peroleh dari India tersebut pada penduduk/ rakyat kerajaan tersebut. Maka semakin berkembanglah ajaran agama baik Hindu maupun Budha dan terbentuklah kerajaan yang berciri baik itu Hindu maupun Budha. Jadi kesimpulan proses masuk dan berkembangnya agama dan budaya Hindu-Budha ke Indonesiaadalah sebagai berikut.
Agama Budha
Agama Budha masuk ke Indonesia dibawa oleh para pendeta didukung dengan adanya misi Dharmadhuta, kitab suci agama Budha ditulis dalam bahasa rakyat sehari-hari, serta dalam agama Budha tidak mengenal sistem kasta. Para pendeta Budha masuk ke Indonesia melalui 2 jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan, yaitu melalui jalan daratan dan lautan. Jalan darat ditempuh lewat Tibet lalu masuk ke Cina bagian Barat disebut Jalur Sutra, sedangkan jika menempuh jalur laut, persebaran agama Budha sampai ke Cina melalui Asia Tenggara. Selanjutnya sampai ke Indonesia mereka akhirnya bertemu dengan raja dan keluarganya serta mulai mengajarkan ajaran agama Budha, pada akhirnya terbentuk jemaat kaum Budha. Bagi mereka yang telah mengetahui ajaran dari pendeta India tersebut pasti ingin melihat tanah tempat asal agama tersebut secara langsung yaitu India sehingga mereka pergi ke India dan sekembalinya ke Indonesia mereka membawa banyak hal baru untuk selanjutnya disampaikan pada bangsa Indonesia. Unsur India tersebut tidak secara mentah disebarkan tetapi  telah mengalami proses penggolahan dan penyesuaian. Sehingga ajaran dan budaya Budha yang berkembang di Indonesia berbeda dengan di India.
Agama Hindu
Para pendeta Hindu memiliki misi untuk menyebarkan agama Hindu dan melalui jalur perdagangan akhirnya sampai di Indonesia. Selanjutnya mereka akan menemui penguasa lokal (kepala suku). Jika penguasa lokal tersebut tertarik dengan ajaran Hindu maka para pendeta bisa langsung mengajarkan dan menyebarkannya. Dalam ajaran agama Hindu konsepnya adalah seseorang terlahir sebagai Hindu bukan menjadi Hindu maka untuk menerima ajaran agama Hindu orang Indonesia harus di-Hindu-kan melalui upacara Vratyastoma dengan pertimbangan kedudukan sosial/ derajat yang bersangkutan (memberi kasta). Hubungan India-Indonesia berlanjut dengan adanya upaya para kepala suku/ raja lokal untuk menyekolahkan anaknya/ utusan khusus ke India guna belajar budaya India lebih dalam lagi. Setelah kembali ke tanah air mereka kemudian menyebarkan kebudayaan India yang sudah tinggi. Bahkan tak jarang mereka mendatangkan para Brahmana India untuk melakukan upacara bagi para penguasa di Indonesia, seperti upacara Abhiseka, merupakan upacara untuk mentahbiskan seseorang menjadi raja. Jika di suatu wilayah rajanya beragama Hindu maka akan memperkuat proses penyebaran agama Hindu bagi rakyat di daerah tersebut.

C.    KEBUDAYAAN ZAMAN HINDU-BUDHA
Arkeologi Klasik adalah salah satu spesialisasi dari beberapa bidang spesialisasi dalam dunia penelitian arkeologi di Indonesia, berdasarkan waktu atau masa pengaruh kebudayaan tertentu. Arkeologi Klasik di Indonesia merupakan kajian arkeologi yang objek penelitiannya meliputi semua peninggalan purbakala yang mendapat pengaruh dari kebudayaan India, meskipun kenyataannya tinggalan-tinggalan purbakala tersebut berbeda jauh dari asalnya. Hal ini disebabkan adanya kehebatan dari nenek moyang kita dalam memadukan kebudayaan lokal dengan kebudayaan dari India.
Dalam Arkeologi Klasik, objek penelitiannya meliputi peninggalan dari masa Hindu-Budha, yang berupa Arca-arca, Bangunan Candi/Biara, serta Sejarah Sosial dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan India (Agama, Sistem Pemerintahan, Perdagangan, dan lain-lain).
Tujuan dari penelitian bidang Arkeologi Klasik adalah mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha melalui peninggalan kepurbakalaannya yang berupa bangunan candi/biara, arca-arca, dan lain-lainnya.
Dalam periodisasi sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa tahapan secara garis besar, yaitu masa prasejarah yang merupakan perkembangan kebudayaan yang paling awal, seluruh kepulauan Indonesia mengalami tahapan prasejarah tersebut. Masa prasejarah kira-kira berakhir dalam abad ke-4 M dengan ditemukannya bukti tertulis awal di Nusantara. Masa prasejarah mempunyai suatu era penting yang dinamakan megalitik, dalam era itu penduduk kepulauan Indonesia telah menghasilkan bermacam monumen megalitik sebagai sarana pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship). Aktivitas dalam era megalitik tersebut tidaklah terhenti, melainkan di beberapa tempat terus berlanjut hingga masa sejarah sudah dikenal oleh penduduk kepulauan Nusantara, bahkan ada yang terus bertahan hingga dewasa ini.
Kemudian disusul masa transisi antara periode prasejarah dan sejarah yang dinamakan proto-sejarah. Pada prinsipnya proto-sejarah mempunyai dua ciri, yaitu (a) di suatu tempat telah dijumpai bukti tertulis yang diduga aksara namun belum dapat dibaca, dan (b) berita tentang suatu wilayah telah dicatat oleh bangsa lain yang telah mengenal tulisan, sementara itu penduduk wilayah tersebut belum mengenal tulisan.  Masa proto-sejarah terjadi secara berbeda-beda di wilayah Indonesia, ada yang hanya singkat saja, namun ada pula yang berlangsung selama beberapa abad.
Ketika penduduk kepulauan ini telah mengenal aksara dan meninggalkan berita tertulisnya, maka sejak itulah penduduk kepulauan Nusantara memasuki era sejarahnya. Dalam masa sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia dapat dibagi menjadi periode Hindu-Buddha, periode masuk dan berkembangnya Islam, kolonialisme Belanda, dan kemerdekaan Indonesia. Kajian ini selanjutnya membicarakan periode Hindu-Buddha Indonesia, khususnya yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah. Dalam telaah kebudayaan Indonesia, masa perkembangan pengaruh Hindu-Buddha tersebut lazim dinamakan zaman Klasik Indonesia.
Gaya Seni Klasik Tua
Pada galibnya suatu zaman dalam sejarah kebudayaan sesuatu bangsa dinamakan Klasik apabila mempunyai dua ciri:
1.      Masyarakat manusia dalam zaman itu telah menghasilkan tonggak-tonggak peradaban pertama yang akan menjadi dasar perkembangan peradaban selanjutnya di masa yang lebih kemudian, misalnya (mulai digunakan tulisan, sistem kalender, sistem kerajaan, konsep kepahlawanan, mitologi dewa-dewa, dan lainnya lagi).
2.      Banyak kaidah, aturan, konsep atau norma budaya yang berkembang dalam zaman tersebut terus saja digunakan hingga masa sekarang, jadi di zaman sekarang seringkali masih mengacu kaidah lama yang pernah berkembang sebelumnya di zaman awal kegemilangan peradaban bangsa tersebut.  Bagi bangsa Indonesia, zaman Klasik yang sesuai dengan kedua syarat  tersebut adalah masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Nusantara, oleh karena itu masa Hindu-Buddha kemudian dinamakan zaman Klasik Indonesia.
Berdasarkan  berbagai tinggalan arkeologisnya, zaman klasik dibagi menjadi dua periode, yaitu (a) zaman Klasik Tua yang berkembang antara abad ke-8—10 M, dan (b) zaman Klasik Muda berkembang antara abad ke-11—15 M. Kedua zaman itu berkembang di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera dan Bali, namun banyak bukti arkeologi dalam zaman Klasik Tua didapatkan di wilayah Jawa bagian tengah, oleh karena itu terdapat kepustakaan yang menyatakan agak keliru dengan sebutan “Zaman Jawa Tengah”. Adapun untuk zaman Klasik Muda disebut juga secara keliru dengan “Zaman Jawa Timur”, berhubung banyaknya temuan arkeologi dari abad ke-11—15 (sebenarnya baru mulai banyak sejak abad ke-13) yang terdapat di wilayah Jawa bagian timur. Justru pembagian zaman Klasik yang didasarkan kepada kronologi tersebut untuk memperluas cakupan kajian, jadi tidak melulu bicara tentang tinggalan di Jawa bagian tengah atau timur belaka (Munandar 1995: 108).
Masa sejarah di Indonesia dimulai setelah ditemukannya bukti prasasti-prasasti awal (bertarikh sekitar abad ke-4 M) ditemukan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur yang menyebut nama raja Mulawarmman dan Jawa bagian barat yang menyebutkan Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya Purnnawarmman.Prasasti-prasasti itu menggunakan aksara Pallava dengan bahasa Sansekerta (Suleiman, 1974: 14—15);  sedangkan nafas keagamaan yang terkandung dalam prasasti-prasasti tersebut bercorak Veda kuno, masih belum memuja Trimurti. Dalam masa sejarah itulah pengaruh kebudayaan India mulai datang dan berkembang secara terbatas di beberapa tempat di Nusantara. 
Dalam masa selanjutnya pengaruh kebudayaan India awal yang menularkan ajaran Veda-Brahmana tersebut agaknya  tidak diminati lagi oleh masyarakat. Dengan menghilangnya kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat tidak ada kerajaan lainnya yang meneruskan ritual Veda Kuno yang didominasi oleh kaum Brahmana. Alih-alih kerajaan yang muncul kemudian di wilayah Jawa bagian tengah dalam abad ke-8 M bernafaskan Hindu Trimurti. Kerajaan itu adalah Mataram Kuno yang mengeluarkan Prasasti Canggal dalam tahun 732 M, dalam prasasti itu dinyatakan nama raja yang menitahkan penerbitan prasasti, yaitu Sanjaya. Nafas keagamaan yang cukup kentara dalam prasasti adalah Hindu-saiva, karena bait-baitnya banyak memuliakan Siva Mahadeva (Poerbatjaraka 1952: 53—55).
Bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu-saiwa, dalam masa yang hampir bersamaan datang pula pengaruh agama Buddha dari aliran Mahasanghika (Mahayana) ke tengah-tengah masyarakat Jawa Kuno. Dengan demikian di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 M berkembang 2 agama besar, yaitu Hindu-saiwa dan Buddha Mahayana yang beraasal dari Tanah India. Dalam perkembangannya itu banyak dihasilkan berbagai bentuk kesenian, seni yang masih bertahan hingga sekarang adalah bukti-bukti seni rupa yang berupa arca dan relief serta dan kemajuan karya arsitektur bangunan suci. Demikianlah risalah singkat ini memperbincangkan perihal zaman Klasik Tua yang berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bukan di wilayah lainnya di Indonesia. Bukti arkeologis yang akan dijadikan data, adalah penggambaran relief dan arca-arca dewa, baik yang dikembangkan dalam lingkup kebudayaan India, dan juga arca dan relief yang dihasilkan oleh kebudayaan Klasik Tua di masa Jawa kuno di Jawa tengah.
Hellenisme
Dalam sejarah kebudayaan India, setelah zaman Mohenjodharo dan Harappa, berkembanglah kesenian yang pertama kali muncul di Tanah India, yaitu gaya seni Maurya. Gaya seni Maurya dapat dinyatakan sebagai bentuk akulturasi dari berbagai gaya kesenian yang tumbuh di zaman itu, yaitu meneruskan gaya seni Lembah Sungai Sindhu Kuno, ditambah dengan pengaruh gaya seni Persia (achaemenid) yang sebenarnya sangat mengagumi perkembangan seni rupa Hellas (Yunani Kuno). Raja Chandragupta (322—298 SM), dan Bindusara Maurya (297—272 SM) dikenal sebagai orang yang Hellenophile, mereka pencinta kebudayaan Hellas (Wirjosuparto 1956: 24).
Orang Yunani kuno menyebut diri mereka sendiri dengan Hellenes, segala sesuatu yang dipandang sebagai milik budaya mereka disebut Hellenic. Adapun bentuk kebudayaan Yunani Kuno yang berkembang sesudah masa Alexander the Great disebut Hellenistic, yang artinya “seperti atau mirip, tetapi tidak sungguh-sungguh Yunani” (Cairns, 1985: 93). Sedangkan paham untuk mengembangkan dan mempelajari kebudayaan Hellenistic yang berkembang di India kemudian disebut dengan Hellenisme.
Perkembangan seni rupa Maurya sejatinya telah mendahului, perkembangan bentuk kesenian Hellenistic yang dibawa bersama masuknya kekuasaan Alexander the Great ke India bagian utara, beberapa abad kemudian. Kesenian Hellenistic dalam masa sesudah masuknya Alexander the Great sebenarnya melanjutkan saja bentuk anasir kesenian Yunani Kuno yang telah dikenal dalam zaman Maurya. 
Dalam perkembangan seni arca India, gaya seni arca Maurya  merupakan titik pangkal perkembangan seni arca selanjutnya. Pada awalnya  seni arca Maurya dipresentasikan dalam wujud yang serba besar, dan bersifat statis. Setelah mendapat pengaruh anasir seni arca Achaemenid dan Hellas, maka bentuk arca Maurya mengarah kepada bentuk yang halus, lemah lembut, bersifat plastis, ciri-ciri itulah yang kemudian diteruskan oleh bentuk seni arca  India selanjutnya (Wirjosuparto 1956: 32).
Maka dalam awal abad ke-3 SM mulailah pengembaraan tentara Yunani dipimpin oleh Alexander the Great ke wilayah timur untuk menaklukkan wilayah-wilayah kekuasaan Persia. Dalam tahun 331 SM ia berhasil mengalahkan tentara Persia dan menewaskan rajanya. Tentara Yunani juga menaklukkan wilayah-wilayah di Syria, merebut Tyre setelah dikepung cukup lama, menguasai Memphis dan merebut seluruh wilayah Mesir Kuno (Cairns 1985: 87).  Setelah mengusai Persia Alexander mulai mengarahkan tentaranya ke tanah India, dalam tahun 327 SM tentara Yunani melalui lembah-lembah pegunungan Hindukush masuk ke India utara. Perjalanan mereka dibantu oleh Raja Taksaśilā, raja ini sadar untuk tidak perlu melawan Alexander mengingat tentara yang dipimpinnya sangat banyak, dan pastinya ia akan kalah sia-sia. Setelah berada di wilayah pedalaman, tentara Alexander segera mendapat perlawanan dari orang-orang India. Salah satu peperangan penting terjadi antara tentara Alexander dengan bala tentara Raja Paurawa (Poros) yang menantikan musuhnya dengan tentara yang terdiri dari 200 ekor gajah, 30.000 prajurit infanteri, 4000 prajurit kavaleri, dan 300 kereta perang yang masing-masing dihela 4 kuda yang mampu mengangkut 6 prajurit. (Prijohutomo 1953: 16).
Semua kekuatan tentara Paurawa itu tidak mampu membendung serangan tentara Yunani, dalam pertempuran di Hidaspes angkatan perang Paurawa binasa, karena hantaman tentara Yunani dan juga karena gajah-gajah mereka sendiri yang menjadi liar akibat serangan berkuda yang melaju pesat dari tentara Yunani. Raja Paurawa ditangkap secara terhormat karena keyakinannya yang gigh membela tanah airnya, pada akhirnya Paurawa dilepaskan dan tetap dirajakan oleh Alexander dan menjadi sekutu orang-orang Yunani  yang penting di India (Prijohutomo 1953: 16, Cairns 1985: 91). Perjalanan bala tentara Yunani kemudian diteruskan memasuki pedalaman India ke lembah Sungai Gangga, akan tetapi ketika sampai ke pinggir Sungai Bias, bala tentaranya mogok dan menyatakan tidak bersedia meneruskan penyerangan merebut kota-kota musuh dan menguasai daerah baru di India. Mereka menyatakan ingin kembali ke Yunani yang telah lama ditinggalkan (Prijohutomo 1953: 17, Mulia  1959: 23). Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas. Perjalanan kembali  tidak melewati rute yang sama dengan kedatangannya, oleh karena itu tentara Yunani yang jumlahnya puluhan ribu tersebut melalui Sungai Indus menghilir terus ke arah muaranya di Laut Arab. Dalam perjalanan tersebut kerajaan yang ada di tepi Sungai Indus menghadang dan mengadakan perlawanan, sampai 3 kali Alexander dan tentaranya melakukan peperangan dalam perjalanan menghilir Sungai Indus. Sesampainya di tepi Laut Arab dibukalah pelabuhan baru atas nama Alexander. Perjalanan dilanjutkan dengan dua cara, sebagian menempuh perjalanan laut melalui Teluk Persia, dan sebagian lainnya dengan dipimpin sendiri oleh Alexander kembali ke Babylonia melalui perjalanan darat. Perjalanan darat itulah yang mengakibatkan banyak korban jatuh akibat kelelahan, kehausan, kelaparan, penyakit, dan peperangan-peperangan dengan suku-suku di pegunungan dan gurun.  Akhirnya Alexander tiba di Babylonia, sempat menikah dengan seorang putri bernama Roxana, Alexander meninggal dalam usia yang muda dalam umur 32 tahun (Mulia 1959: 24, Cairns 1985: 91)
Dapatlah dipahami bahwa masuknya anasir kesenian Yunani ke Tanah India dalam masa sesudah kerajaan Maurya adalah akibat dibawa langsung oleh orang-orang Yunani sendiri. Selain mengembangkan pengaruh kekuasaannya, orang-orang Yunani juga pada dasarnya membawa kesenian, terutama seni arca dan reliefnya. Dalam masa Gandhara perkembangan kesenian Hellenistic berlangsung dengan pesat, sehingga lahirlah paham Hellenisme yang menjadikan kesenian Yunani sebagai ukuran keindahan seni. Seni Gandhara terutama dikenal karena kemampuannya dalam mengembangkan kesenian Buddha, kesenian inilah yang pertama kali melukiskan tokoh Buddha sendiri. Sebelum itu Buddha hanya digambarkan dengan berbagai lambangnya, misalnya cakra, tapak kaki, dan petarana kosong. Kesenian Gandhara yang Hellenistic tersebut akan banyak mempengaruhi gaya seni selanjutnya di India (Prijohutomo 1953: 30). Kesenian Mathura yang berkembang agak lebih muda dari Gandhara, banyak terpengaruh pula oleh kesenian Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Buddha dan Bhodhisattvanya. Kelenturan plastis yang dikembangkan oleh seni arca Mathura sebenarnya memperoleh pengaruh pula dari kesenian Gandhara, karena sejak abad pertama dan hingga abad ke-2 M, kesenian Gandhara masih menjadi acuan pengembangan kesenian Mathura (Wirjosuparto 1956: 48—49).
Kesenian Klasik India yang memuncak dalam zaman Gupta (sekitar tahun 300—600 M) merupakan perkembangan dan perpaduan lebih lanjut antara seni arca Gandhara dan Mathura. Jadi secara tidak langsung kesenian Gupta juga menyimpan pengaruh seni arca Gandhara terutama dalam penggambaran arca-arca Bauddhanya. Sebagaimana telah diketahui pada akhirnya agama Buddha Mahayana berkembang juga di Pulau Jawa, bahkan berhasil membangun monumen besar yang penuh dengan nilai estetika, yaitu Candi Borobudur. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kesenian Buddha dari India juga yang pada awalnya diperkenalkan kepada pemeluk agama Buddha di Jawa. Artinya anasir-anasir dari seni arca Gupta, Mathura, dan Gandhara yang Hellenistic juga memasuki dan mempengaruhi perkembangan seni arca dan relief di Jawa. Risalah singkat ini selanjutnya hendak menilik beberapa anasir seni Gandhara yang memasuki kesenian Jawa Kuno dalam zaman Klasik Tua, melalui perpaduannya dengan kesenian India lainnya, terutama periode Gupta.
Jejak Anasir Seni Arca Hellenistic dalam kesenian Klasik Tua di Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya agama Buddha di Jawa, maka kesenian Buddhapun berkembang pula, karena kesenian dan aktivitas keagamaan pada masa itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setelah memperhatikan ciri penggambaran relief yang terdapat di candi-candi Buddha masa Klasik Tua di Jawa Tengah, antara lain di Candi Borobudur, maka dapat disimpulkan adanya anasir seni yang mungkin meneruskan tradisi seni Hellenistic Gandhara yang diserap oleh kesenian Mathura dan Gupta yang pada akhirnya masuk ke Jawa.
Dalam penggambaran relief di candi-candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah, dapat dikatakan adanya pengaruh Gandhara dalam kesenian  Gupta yang akhirnya menjadi ciri seni relief Jawa, namun apabila ditelusuri ciri itu dapat dirunut kembali kepada bentuk kesenian Hellenistic Gandhara. Dalam seni relief beberapa anasir Gandhara itu adalah:
a.Bentuk relief tinggi
Awalnya terdapat dalam pahatan-pahatan seni relief Gandhara yang membuat figur tokoh-tokoh menjadi lebih menonjol dari bidang pahatan.
b.Gaya naturalis
Salah satu ciri yang terdapat dalam pemahatan relief masa Klasik Tua adalah gaya naturalis, gaya demikian sebenarnya telah dikenal sejak zaman kesenian Gandhara. c.Wajah digambarkan en-face, menghadap  ke pengamat.
Dalam pemahatan relief wajah tokoh-tokoh dibuat menghadap ke pengamat, gaya ini terdapat dalam pemahatan relief cerita Karmmavibhangga, Lalitavistara dan lainnya  di Candi Borobudur.
Adanya penggambaran lipatan kain (draperi)
Relief gaya seni Gandhara sangat memperhatikan penggambaran lipatan kain, terutama pada bagian busana yang dikenakan oleh para tokoh. Lipatan kain itu digambarkan sangat halus dan naturalis, sehingga jatuhnya kain dan lipatan kain hampir seperti kenyataan sebenarnya.
Dalam pada itu di bidang seni arca terdapat pula beberapa anasir seni Gandhara yang masih dapat dilihat dalam senia arca di Jawa, antara lain:


a.Sikap duduk atau berdiri sambil melakukan mudra (sikap tangan) tertentu
Telah diperlihatkan oleh berbagai arca dari kesenian Gandhara ketiganya merupakan arca Bhoddhisattva dalam sikap berdiri tangannya terpotong, sikap duduk dengan mudra dhyana dan Bhoddhisattva lainnya berdiri dengan sikap tangan abhayamudra (tangan kanan) dan tangan kirinya diletakkan dipinggang kiri.
Sikap duduk atau berdiri dengan melakukan berbagai mudra juga diperlihatkan oleh arca-arca dari masa Klasik Tua di Jawa bagian tengah seperti arca Agastya dan Wisnu dari Candi Banon dalam sikap berdiri samabhangga, tubuhnya tidak dibalut busana, busana hanya sederhana tanpa draperi yang berlebihan seperti arca Gandhara. Begitupun arca-arca Buddha dari Candi Borobudur memperlihatkan mudra tertentu sesuai dengan ajaran keagamaannya.
b. Pita-pita di belakang kepala
Merupakan suatu hal yang menarik adalah mengenai hiasan pita di belakang kepala arca. Dalam gaya seni arca di Jawa, hiasan pita-pita tersebut baru dikenal dalam seni arca masa Majapahit yang berkembang antara abad ke-14—15 M. Di Lingkungan seni arca Gandhara hiasan pita-pita di belakang kepala arca itu telah lama dikenal. Pita yang berkibar di belakang arca terdapat pada beberapa arca Bhoddhisattvanya.
Beberapa anasir seni yang masih kemungkinan besar berasal dari gaya seni Hellenistic Gandhara ternyata masih dapat dijumpai dalam gaya seni arca dan relief di Jawa. Mungkin kajian di masa mendatang yang lebih mendalam akan banyak mengungkap lagi macam anasir seni lainnya yang masih bertahan dalam kesenian Jawa Kuno jauh beberapa abad kemudian setelah kesenian Gandhara meredup.


Secara historis dan arkeologis memang tidak ada hubungan langsung antara kebudayaan Yunani-Romawi dengan perkembangan kebudayaan di kepulauan Indonesia masa silam. Hal sangat mungkin terjadi akibat jauhnya jarak yang memisahkan wilayah Yunani kuno di Laut Tengah (Eropa) dan kepulauan Nusantara yang berada di Laut Asia Tenggara. Sebenarnya berita-berita tentang adanya pulau rempah-rempah yang terletak di wilayah timur telah terdengar dan dicatat oleh para sejarawan dan geograf dari Yunani-Romawi, hanya saja kunjungan langsung dari orang-orang Yunani Kuno ke kepulauan Indonesia belum pernah ada buktinya.
Dalam hal kebudayaan,  secara teoritis perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha Nusantara, terutama di Jawa, sedikit banyak telah mendapat pengaruh anasir kebudayaan Yunani Kuno lewat seni Hellenistic yang pernah berkembang di Gandhara, wilayah India Utara. Hellenistic Art itu telah mempengaruhi kesenian Mathura dan Gupta yang berkembang agak kemudian di India, kesenian Gupta yang bersifat Buddha itu juga masuk ke Jawa. Maka dengan sendirinya ada gaya seni Hellenistic yang diterima dan dikembangkan oleh seniman-seniman Jawa Kuno.
Diharapkan di masa mendatang penelitian secara khusus terhadap anasir seni Hellenistic di Indonesia dapat segera dilakukan, hal itu untuk membuktikan bahwa sejak masa silam, dalam sejarah antara bangsa Yunani dan bangsa Indonesia telah ada hubungan yang baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut di masa sekarang ini.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN AGAMA HINDU-BUDHA
Persamaan Hindu dan Budha :
 Sama-sama tumbuh dan berkembang di IndiaØ
 Selalu berusaha untuk meletakkan dasar-dasar ajaran kebenaran dalam kehidupanØ
    manusia di dunia ini. Di dasarkan pada ajaran agama yang dibenarkan.
 Tujuan untuk menyelamatkan umat manusia dari rasa kegelapan/ mengantarkan umatØ
    manusia dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu kesempurnaan.
Perbedaan Hindu dan Budha :
HINDU
BUDHA
Muncul sebagai perpaduan budaya bangsa Aria dan bangsa Dravida
Muncul sebagai hasil pemikiran dan pencerahan yang diperoleh Sidharta dalam rangka mencari jalan lain menuju kesempurnaan(nirwana)
Kitab sucinya, WEDA
Kitab Sucinya, TRIPITAKA
Mengakui 3 dewa tertinggi yang disebut Trimurti
Mengakui Sidharta Gautama sebagai guru besar/ pemimpin agama Budha
Kehidupan masyarakat dikelompokkan menjadi 4 golongan yang disebut Kasta (kedudukan seseorang dalam masyarakat diterima secara turun-temurun/didasarkan pada keturunan).
Tidak diakui adanya kasta dan memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat adalah sama.
Adanya pembedaan harkat dan martabat/hak dan kewajiban seseorang
Tidak mengenal pembagian hak antara pria dan wanita
Agama Hindu hanya dapat dipelajari oleh kaum pendeta/Brahmana dan disebarkan/ diajarkan pada golongan tertentu sehingga sering disebut agamanya kaum brahmana.
Agama Budha dapat dipelajari dan diterima oleh semua orang tanpa memandang kasta
Agama Hindu hanya bisa dipelajari dengan menggunakan bahasa Sansekerta
Agama Budha disebarkan pada rakyat dengan menggunakan bahasa rakyat sehari-hari, seperti bahasa Prakrit
Kesempurnaan (Nirwana) hanya dapat dicapai dengan bantuan/bimbingan pendeta
Setiap orang dapat mencapai kesempurnaan dengan usaha sendiri yaitu dengan meditasi
Seorang terlahir sebagai Hindu bukan menjadi Hindu sehingga kehidupan telah ditentukan sejak lahir.
Kehidupannya ditentukan oleh darma baik yang berhasil dilakukan semasa hidup
Mengenal adanya kelahiran kembali setelah kematian (reinkarnasi)
Tidak menenal reinkarnasi tetapi mengenal karma
Dibenarkan untuk mengadakan upacara korban
Tidak dibenarkan mengadakan upacara korban




makalah SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA ZAMAN HINDU-BUDHA makalah SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA ZAMAN HINDU-BUDHA Reviewed by SDN BENDO on 04:26 Rating: 5

No comments

Video